“INYIAK BALIAU” BUYA LUBUAK
LANDUA
Cerita
Rakyat dari Jorong Lubuak Landua Aur Kuning Kabupaten Pasaman Barat
Diceritakan
kembali oleh RATMIL
Konon kabarnya sekitar awal abat 17 Masehi, ada satu keluarga kecil dari Bonjol. Bapak tersebut bernana Peto
Sulaiaman, orangnya berperawakan tinggi, gagak dan sedikit berjambang sekilas
seperti bule
Turki. Peto Sulaiman ini memiliki
hubungan kekerabatan
dengan Peto Syarif atau terkenal dengan Imam Bonjol.
Peto Sulaiman melakukan perjalanan dari Bonjol bersama istrinya dan seorang anak bujangnya bernama Salim Peto Bandaro pergi merantau hendak
membuka “ladang” pertanian ke
Aur Kuning, Pasaman
Barat. Dia mendapatkan informasi, bahwa di tempat ini masih banyak lahan kosong
dan masyarakatnya terkenal ramah dan sangat menghormati tamu yang datang.
Disamping itu dia punyai misi untuk mengembangkan ilmu tasawuf dan silat
bathin, di aur kuning.
Mereka berjalan cukup
jauh, menelusuri lereng gunung pasaman. Tiba-tiba Peto Sulaiman setengah
berbisik tapi cukup tegas memerintahkan:
“Berhenti, jangan
bergerak.. !!!”
Perintah Peto Sulaiman sambil
menujuk ke hutan lebat di depan. Istri dan anaknya terkejut tapi mereka patuh.
Dia tidak melihat hal-hal yang aneh atau membahayakan. Peto Sulaiman mengambil
ranting kemudian membacakan doa dan melemparkan ranting itu, tepat mengenai ular
sebesar paha orang dewasa persis di depan tak jauh dari mereka. Ular itu kaku, tidak
bisa bergerak. Peto Sulaiman memiliki ilmu yang cukup tinggi, salah satunya
ilmu menotok. Ular itu tidak akan bisa bergerak selama 30 menit lebih.
“Alhamdulillah, kita
diselamatka oleh Allah” Kata istrinya,
sedikit menggigil ketakutan.
“wah… ayah hebat, apa
doanya tadi tu yah?”. Tanya Salim Peto
Bandaro pada ayahnya.
“Doanya, Bismillahi
Allahu Akbar” jawab ayahnya, “disamping doa, yang penting makrifat ketika
melemparkan ranting tadi” lanjutnya. “Insya Allah nanti bila kita sudah
menemukan tempat yang tepat untuk mencai nafkah, Ayah akan ajarkan semua ilmu
yang ada pada ayah padamu, nak”
“Aamiin yaa Allah,
Insya Allah, terima kasih ayah” Jawab Salim Peto bandaro dengan sangat harap.
Mereka terus
melanjutkan perjalanannya mendaki bukit dan menuruni lembah, dan berjalan
dengan santainya seakan-akan tanpa beban. Matahari sudah tergelincir ke arah
barat, bayangan pepohonan tidak lagi tegak lurus, bayangan sudah “condong”
sedikit ke arah timur, menandakan waktu zuhur sudah masuk.
Peto Sulaiman berhenti
dan mencari tempat beristirahat. Mereka beristirahat di bawah pohon besar, daunnya rindang pas sekali untuk beristirahat.
Tak jauh dari pohon itu ada anak sungai kecil, mereka mengambil airnya untuk
diminum, sambil melepaskan dahaga. Setelah itu mereka mengambil air udhuk untuk
shalat. Mereka shalat Zuhur berjemaah.
Karena mereka tergolong musyafir, maka mereka shalat jamak taqdim dengan ashar dan sekaligus
meringkasnya (Qasar);
Sementara itu dari
kejauhan sepasang mata tajam dari
sesorang berumur paruh baya, sedang mengamati gerak gerik keluarga ini,
“Insya Allah, keluarga
ini adalah orang baik-baik dan alim”
Katanya dengan lembut
setengah berbisik sendiri. Bapak ini adalah Majo Indo yang kebetulan sedang
berada tak jauh dari Peto Sulaiman beristirahat. Bapak ini menghampiri, dan
memberikan salam.
“Assalamualaikum, dari
mana dan hendak kemana tuan-tuan..?” sapa Majo Indo dengan ramahnya.
“Waalikumussalam
warahamatullahi wabarkah” jawab Peto Sulaiman sambil menjabat tangan Majo Indo
dengan eratnya dan menatap matanya dengan teduh sambil tersenyum.
“Saya Peto Sulaiman
Pak, ini istri saya dan ini Sulim Peto
Bandaro” sambil memperkenalkan diri dan keluarganya.
Mereka terlibat percakapan yang sangat akrab. Akhirnya Majo Indo mengundang
Peto Sulaiman se keluarga datang kerumahnya. Mereka mendapat sambutan yang luar
biasa dari pemuka masyarakat dan meminta mereka untuk tinggal di daerah ini.
Setelah Majo Indo dapat khabar, bahwa Peto Sulaiman berhubungan kekerabatan
dengan Imam Bonjol, maka Majo Indo mengajak mereka jadi anak kemenakan warga
Aur Kuning,
“Kami butuh orang-orang seperti pak, Peto”.
“Nagari ini butuh orang alim untuk mengembangkan ajaran agama pada
masyarakat sini” kata Majo Indo.
Bak “Gayung bersambut”, akhirnya mereka diberi lahan pertanian, dan
masyarakat bergoro membuatkan pondok sederhana untuk mereka tempati di daerah
Lariang, Jorong Lubuak Landua.
Mereka bekerja sebagai petani dan membuka perladangan.
Peto Sulaiman dan keluarganya dihormati masyarakat karena keramahan dan kejujuranya, disamping memiliki ilmu tinggi dan seorang pendekar, banyak anak-anak yang
belajar silat, dan sering juga orang tua bertamu, bertanya tentang masalah agama.
Salim Peto Bandaharo, adalah anak muda yang terkenal taat
menjalankan ibadah disamping jujur dan suka menolong. Dia belajar ilmu agama
dan ilmu silat pada ayahnya Peto Sulaiman, salah satu pesan ayahnya Peto
Sulaiman adalah menjaga kehalalan makanan dan menjaga adab pergaulan.
Ayahnya berpesan “kalau
kamu mau keturunan mu jadi anak yang shaleh dari masa muda inilah mulai
mendidiknya”
“Bagaimana caranya,
ayah. Saya saja belum punya istri apalagi anak, apa maksudnya ayah?” Jawab
Salim Peto Bandaro.
“Nilai karakter yang
kamu bangun sejak dari baligh inilah hakekatnya yang akan kamu turunkan pada
anakmu kelak”. Jawab Peto Sulaiman.
Salim Peto Bandaro,
mengangguk-angukan kepala sambil berpikir dan mencoba menterjemahkan dalam hati
apa yang dimasudkan oleh ayahnya itu.
Hari hari berganti
masapun berlalu, Salim Peto Bandari tumbuh jadi pemuda yang dewasa yang shaleh,
dia sudah berumur lebih kurang 22 tahun. Pemuda seusianya sudah banyak yang
berkeluarga, pada masa itu usia 20 an itu sudah sepantasnya berkeluarga. Dia
tegolong pemuda tampan dan baik laku, banyak sekali anak gadis yang memujanya
dan jatuh cinta padanya, tapi dia selalu menolaknya dengan santun dan bila
berjalan selalu menundukkan matanya, apalagi bila berpapasan dengan anak gadis.
Sudah tiba saatnya Peto
Sulaiman dan Istrinya inginkan anaknya ini memiliki istri, semoga kelak
memperoleh keturunan yang shaleh dan jadi ulama besar. setiap ditanyakan sambil berkelakar padanya dia
selalu menjawab:
“pilihan ayah dan umak itulah yang terbaik dan
insya Allah berkah” jawabnya dengan sopan.
Akhirnya, setelah
shalat istigharah berulang kali, akhirnya Peto Sulaiman menjodohkannya dengan
seorang anak gadis, anak temannya dari Sikilang, Sasak bernama Pilaut Wajahnya
cantik memancarkan cahaya keibuan, dia sangat cantik alami tanpa di beri “make
up”. Pilaut terkenal gadis pemalu, dia
lebih banyak berkurung dirumahnya dari pada merumpi keluar.
Dalam tahun 1799 M, mereka
menikah, setelah menikah mereka bersepakat mengamalkan beberapa amalan yang
pernah diajarkan oleh Orang tuanya Peto Sulaiman yaitu, setiap habis subuh dan magrib membaca Al Qur’an. Mereka tetap dalam keadaan
sudi, tidak pernah lepas dari
uduk, bila lepas uduk, maka mereka beruduk kembali. Mereka sering bersedekah
pada orang miskin dan mintak di doakan agar mereka diberi keturunan yang
shaleh.
Setahun setelah Salim Peto Bandaro menikah dengan Pilaut
tepatnya dalam tahun 1800 M, mereka dikurnia seorang anak laki-laki yang sehat
dan sempurna, pada waktu kelahirannya tidak ada tanda-tanda luar biasa
menandakan dia kelak menjadi orang luar biasa, yang jelas dia lahir dalam
kedaan sehat wal afiat dan berwajah bersih dan bersinar.
Pilaut selama
menyusukan anaknya dia selalu dalam suci (beruduk), dan setelah membacakan
basmalah dia sering berdoa “Ya Allah, kurniakanlah kepada anak ku ini kesehatan
zahir dan batin, sucikanlah hati dan dan pikiran anakku ini sebagaimana engkau
telah menjaga kesucian ASI ini,
taburkanlah keberkahan baginya”
Suka cita mewarnai kedua keluarga besar Salim
Peto Bandaro dan Keluarga besar Pilaut dari Sikilang atas kelahiran anak, cucu
dan kemenakan ini. Bayi laki-laki ini diberi nama Muhammad Basyir. Muhammad
Basyir tumbuh dalam keluarga taat beribadah, anak kecil ini selalu meniru apa
yang yang dilihatnya dan kritis. Dari usia balita dia sudah memperlihatkan
bahwa dia akan jadi orang penting nantinya.
Muhammad Basyir belajar ilmu agama dan silat minang pada Ayahnya Salim Peto Bandaharo, juga dengan kakeknya Peto Sulaiman. Selain itu, beliau juga sering berdiskusi tasawuf dengan Tukang Letta, pemuda terkenal keramat di
kampung itu.
Muhammad basyir terkenal orang yang sangat kritis, cerdas dan hobbinya berkhalwat “mengurung” diri untuk berzikir,
mengamalkan ilmu zikir yang penah diajarkan ayahnya Salim Peto Bandaro dan
kakeknya Peto Sulaiman.
Setelah dirasa cukup
ilmu syariat yang diajarkan oleh orang tua dan kekeknya juga berberapa ulama
dikampung itu dan juga seorang pemuda 5 tahun lebih tua darinya orang
memanggilnya Tukang Letta, maka dia menyampaiakan keinginannya belajar
memperdalam ilmu agamanya ke Kumpulan.
Sekitar tahun 1835 M
Muhammad Basyir berangkat menuju Kumpulan. Di Kumpulan ini dia belajar ilmu tasawuf
Tariqat Naqsabandi kepada Maulana Syekh Ibrahim bin Fahati al-Khalidi Kumpulan
(1764-1914), karena ketaatan dan kesopanan adabnya,
maka Syekh Ibrahim
mempercayainya sebagai khalifah, dan diberi gelar Maulana.
Lengkapnya Maulana Muhammad Basyir.
Setelah melihat
kemajuan ilmu yang dia dapat dari gurunya, maka pada suatu hari Sykeh ibrahim
memanggil Maulana Ibrahim untuk datang menghadapnya.
“Wahai muridku Maulana Muhammad Basyir,
amalkanlah ilmu yang telah
kau terim ini, dan sebarkanlah di tanah kelahiranmu. Bila ada rezeki nanti
lanjutkanlah belarnya ke Mekkah Al Mukarramah” Ucap Syekh Ibrahim.
“Atas izin dari Allah,
akan aku amalkan ilmu yang aku dapatkan ini,
tuan Syekh” jawab Muhammad Basyir
“Alhamdulillah, aku percaya kepadamu ”Ujar syekh Ibrahim.
Sepulang dari kumpulan dia kembali kekampung untuk membuka khalaqah suluk di lariang, Lubuk Landua. Ketika itu, belum ada masjid, sehingga belajar hanya di lakukan dirumah beliau. Semenjak pulang dari
Kumpulan ini, Muhammad Basyir bergelar Maulana. Masyarakat lebih senang
memanggilnya Inyiak Baliau. Inyiak Baliau adalah panggilan penghormatan untuk
seorang ulama, dan ada juga masyarakat yang memanggilnya Buya Lubuak Landua.
“
Murid-muridku,
bagaimana caranya agar tempat ini ramai dikunjungi oleh orang?”
“bagaimana kalalu kita pelihara ikan
di sini Buya?”
“aku setuju, kita mohon pada Allah agar ikan-ikan itu berkumpul di sini”
Mereka mendoakan agar ikan-ikan berkumpul ditempat itu dengan tujuan menjadikan tempat itu sebagai tempat rekreasi, juga sekaligus sebagai penghilang lelah bagi murid-muridnya sehabis belajar mengaji di rumah. Sampai sekarang ikan
itu menjadi ikan larangan di Lubuak Landua
Pada suatu hari beberapa
orang keluarga Belanda dari OPHIR pergi mandi-mandi ketepian mandi di sungai batang buluan, karena girangnya mereka dengan air yang begitu jernih dan sejuk, melihat ikan-ikan yang banyak terbitlah selera mereka untuk menangkap ikan-ikan itu dan merekapun menangkap ikan-ikan tersebut, membawa pulang untuk dimasak dan dimakan.
Tetapi alangkah malangnya nasib tentara Belanda yang telah memakan ikan tersebut, perut mereka gembung dan membesar. Setelah berobat kesana kemari, tidak ada satupun yang mampu mengobati, akhirnya Belanda itupun meninggal. Dan menimbulkan kemarahan dari pihak tentara Belanda.
“Kita bunuh semua ikan yang ada disungai
yang beracun itu” ujar salah seorang
tentara Belanda.
Tentara Belanda marah. Mereka datang hendak menangkapi ikan larangan Lubuak Landua yang merek aanggap beracun. Ditepian mandi itu mereka akan menembaki ikan-ikan tersebut satu-persatu.
Akan
tetapi setiap
kali
mereka akan menembaki ikan larangan tersebut,
justru
senapan yang mereka bidikkan itu
tidak bisa meletus,
kejadian ini membuat malu
dan mereka marah.
“Ini ikan-ikan pasti berada di bawah kendali ilmu sihir!”
“Saya sepakat, ini pasti ilmu sihir si Buya itu”
“Kita tangkap saja dia”
“Kita balas kan apa yang terjadi pada keluarga kita”
Para Belanda itu berunding, setelah putus asa akan usaha mereka menembaki ikan-ikan larangan di tepian mandi Lubuak Landua. Berikutnya mereka akan merubah target serangan. Mereka akan menangkap Inyiak Baliau.
Diperjalanan menuju rumah Inyiak Baliau tentara Belanda melihat air tergenang di halaman.
“Bagaimana mungkin ada air di sekitar sini?”
“padahal tadi sama sekali tidak ada”
“ kita berenang saja”
Namun itu adalah salah
satu keramahnya “Inyiak Baliau” Maulana
Muhammad Basyir, hanya tentara Belanda itu saja yang melihat air tersebut. Mereke berenang di tanah dan kerikil akibatnya penuh lukalah sekujur
dada tentara
Belanda tersebut.
Kabarnya malam hari sebelum tentara Belanda datang, “Inyiak Baliau” sudah dapat firasat kalau dia akan ditangkap.
Beliau mendiskusikan dengan murid-muridnya.
“saya mendapat firasat kalau tentara Belanda akan datang kesini dan akan menangkap saya” ujar Inyiak Baliau.
“sebaiknya, untuk
sementara waktu Buya pergi dari kampung ini” jawab salah seorang murid.
“saya juga berfikir seperti, untuk sementara waktu itu adalah jalan yang terbaik” tambah
Inyiak Baliau
Maka atas saran murid-muridnya dan restu
dari keluarganya, “Inyiak Baliau” Maulana Muhammad Basyir atau Buya Landua Landua tengah malam itu juga pergi
menuju sikilang. Dia pergi sendirian, tidak mau ditemani.
Karena dia memiliki ilmu meringankan tubuh, dia berlari munuju sikilang hanya
ditempuh satu jam. Perjalanan ke sikilang itu lebih kurang 30 km. Sesampai di
sikilang di sambut oleh keluarga ibunya, tapi karena untuk keselamatan bersama
setelah shalat subuh dia berlayar dengan “Cadik” perahu penangkap ikan menuju
aceh.
Sesampai di Aceh,
beliau memperdalam ilmu keagamaanya, di aceh ini ini dia memperoleh ijazah
Tariqat Naksabandi, masih satu silsilah dengan gurunya Syekh Ibrahim di
Kumpulan.
Setelah
cukup lama memperdalam ilmu di sini, Inyiak Baliau Maulana Muhammad Basyir melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke Mekkah al-Mukarramah hendak melaksanakan Haji, disamping melaksanakan ibadah haji, beliau juga meluangkan waktu untuk menuntut ilmu kepada ulama-ulama terkenal disana, khususnya dalam bidang Tarikat Naqsyabandiyah.
Beliau kemudian memperoleh ijazah Naqsyabandiyah dari Syekh ‘Ali Ridha di Jabal Abi Qubais Mekkah. Maulana Muhammad Basyir tinggal agak beberapa waktu lama di Mekkah, mengambil barokah pada beberapa halaqah
yang bertebaran di Mesjidil Haram dan memperoleh selembar ijazah keluaran Jabal Abi Qubais,
semenjak itu di beri gelar Syekh.
Di
kampung halaman beliau, setelah kembali dari perjalan lamanya. Syekh Maulana Muhammad Bashir
memperkuat pengaruh keulamaanya di Lubuak Landua. Dengan mengamalkan ilmu-ilmu yang telah beliau peroleh selama menuntut ilmu tasawuf terutama Tariqat
Naqsabandi. Ratusan orang belajar agama dan tasawauf
berdatangan dari berbagi penjuru di Pasaman malah ada yang dari Malaysia.
Melihat
perkembangan komunitas jumlah murid yang belajar, maka sekitar tahun 1872
masyarakat dan murit-muritnya mermufakat membangun mesjid. Inyiak Baliau Buya Lubuak Landua bersama masyarakat membangun
Mesjid disebuah kawasan yang asri. Tepat di pinggir tapian mandi Ikan Larangan Batang Buluan. Syekh Maulana Muhammad
Bashir mengajarkan keilmuan keislaman di surau Lubuk Landua sampai beliau wafat ditahun 1922 dalam usia yang sepuh 122
tahun.
Syekh Basyir adalah orang yang masyur dan terbilang
keramat. Ada cerita tentang keshalehan beliau yang bermartabat di sisi Allah, dalam ilmu
Tauhid diistilahkan dengan Khariqul
lil Adah, memang diakui, dilihat oleh mata, disaksikan oleh masyarakat
banyak, menjadi buah bibir sampai ke generasi-generasi selanjutnya.
Keramah beliau
antara lain, kebal dari senjata tajam, seandainya ada senjata tajam
yang melekat di tubuh beliau,
tidak akan melukainya atau menghasilkan satu goresanpun.
Beliau juga memliki kemampuan
untuk bisa menghilang, maka banyak para pejuang dan tentara yang minta
do’a sebelum pergi berperang dan banyak juga masyarakat yang mau merantau minta
do’a kesuksesan dan keselamatan terlebih dahulu.
Suatu hari, Syekh Maulana Muhammad
Basyir sedang shalat sunat di surau. Beliau menghilang waktu. Beberapa hari berselang muncul kabar kalau beliau pergi ke Mekkah. Masjidil haram kebakaran dan beliau ikut memadamkan. Hal ini dibenarkan oleh orang kampung sepulang haji bertemu dengan Inyiak Buya Lubuk Landua.
Demikianlah cerita rakyat dari jorong Lubuak Landua, Aua Kuniang, Pasaman
Barat tentang Inyiak Baliau Syekh Maulana Muhammad Basyir ini disusun dari
berbagi nara sumber seperti Buya Syekh Mustafa Kamal, Bapak Mawi, Inyiak Amban
dan lain-lain. Bila terdapat perbedaan mohon maaf dan perlu kita telusuri
sejarahnya.
Cerita tentang Inyiak Baliau Syekh Maulana Muhammad Basyir ini memiliki nilai sejarah dan nilai karakter
yang perlu diwariskan ke generasi berikutnya antara lain (1). bahwa untuk
memperoleh anak yang shaleh maka setiap calon Bapak dan Ibu semenjak usia masih
bujang atau gadis harus mempersiapkan
diri menjadi calon Bapak atau Ibu yang
memiliki akhlaq mulia, mejaga adab sopan santun dan ke halalan makanan, karena
hakekatnya nanti akan diturunkan kepada keturunannya. (2). Seorang ibu harus
mengamalkan kesucian lahir dan bathin seperti mengamalkan wudhuk setiap mau
menyusukan bayinya disamping mencontohkan akhlaq yang terpuji. (3). Kebersihan
pikiran dan hati merupakan amalan yang yang utama untuk meningkatkan derjad
disamping mengamalkan ilmu yang didapat dengan sungguh-sungguh (istiqamah).
(4). Dan lain-lain
Nara Sumber : 1. Syekh Mustafa Kamal
2. H. Darmawi
3. Inyiak Amban
Komentar
Posting Komentar